Langsung ke konten utama

Mukjizat Al-Quran [cerpen]

Truk itu berhenti di depan sebuah rumah sederhana dari anyaman rotan. Dari truk itu, turun seorang anak berusia 10 tahun, ayahnya, serta sopir truk tersebut. Furqon, itu namanya.
Anak lelaki berusia 10 tahun. Ia tinggal dengan ayahnya, Pak Dasrul. Ibunya telah meninggal 2 tahun yang lalu. Seorang calon hafidz qur’an. Furqon sudah hafal 29 juz. Hafalannya sesuai tajwid. Suara Furqon sangat merdu dan indah.
Furqon menghafal semua itu secara otodidak. Furqon menghafalnya sendiri. Karena, rumah Furqon berada di tengah kota dan tidak ada ustad di daerah itu. Bagaiamana Furqon akan tahu benar atau tidak bacaannya? Furqon menggunakan aplikasi penghafal al-qur’an yang keren dan canggih.
Kantor ayah Furqon mengalami kebangkrutan. Akibat tak bisa membayar utang-utang perusahaan, rumah, motor, mobil, dan semua harta milik ayah Furqon disita. Terpaksa, mereka harus tinggal di rumah sederhana peninggalan kakek Furqon di Kampung Lebat Pohon.
Siang hari yang terik, Furqon baru pulang dari sekolah barunya. Furqon memandangi Al-Qur’an kesayangannya. Al-Qur’an berukuran sedang dengan sampul dari kulit berwarna hitam. Di tengahnya, ada kaligrafi emas. Indah sekali.
“Bagaimana aku mau hafalan lagi? Siapa yang mau mendengarkankan hafalanku? Aku sudah nggak punya HP. Aku sudah tidak punya aplikasi itu lagi. Aku sudah tidak memiliki apa-apa, selain ayah dan Al-Qur’an kesayanganku ini,” ungkap Furqon sambil mengelus Al-Qur’an kesayangannya.
Allahu Akbar …
Allahu Akbar …
Adzan solat dzuhur berkumandang. Furqon senang bukan main. Jarang sekali ia mendengar suara adzan. Dengan penuh semangat menunaikan panggilan Allah, Furqon mengambil air wudhu. Setelah itu, Furqon berpakaian rapi, menggunakan peci, dan meraih sajadahnya.
“Tapi, masjidnya ada di mana, ya?” Gumam Furqon. Furqon menoleh kanan-kiri untuk menanyakan letak masjid pada seseorang. Furqon tersenyum, ia melihat seorang anak laki-laki.
“Hey!” Furqon memanggilnya. Anak itu menoleh.
“Kamu tahu masjid ada di mana?” Tanya Furqon.
“Ada di kampung sebelah. Kamu harus melewati jembatan itu,” anak itu menunjuk sebuah jembatan tali. Di bawahnya, mengalir arus sungai yang cukup deras.
“Hati-hati ya, jembatan itu goyang-goyang. Kamu harus berpegangan erat sama talinya,” tambah anak itu. Setelah itu, ia pergi.
Furqon meneguk ludah. Melewati jembatan itu? Furqon pernah melihatnya di TV. Tetapi, kenyataannya sekarang, Furqon yang harus melewatinya. Furqon berpegangan erat di kedua talinya. Jembatan itu sangat lentur, mudah bergoyang-goyang. Mulut Furqon tak henti-hentinya menyeru “Allahu Akbar.”
“Alhamdulillahi rabbil ‘alamin,” Furqon bersyukur karena bisa menyeberangi jembatan itu.
Di depan matanya, sudah terlihat sebuah mushola kecil. Furqon sangat kaget, karena yang ada di mushola itu hanya sedikit. Sekitar 10 orang bapak-bapak.
“Assalamu‘alaikum,” Furqon memasuki masjid itu.
“Wa’alaikumsalam,” bapak-bapak itu menoleh ke arah Furqon. Wajah mereka tampak terlihat heran. Furqon menanggapinya dengan senyum.
Setelah itu, shalat Asar berjamaah dimulai. Selepas sholat, Furqon menghampiri imam sholat. Beliau masih muda.
“Pak Ustad!” Panggil Furqon. Dengan mulut sembari berdzikir, Pak Ustad menoleh ke arah Furqon.
“Siapa namamu? Saya baru melihatmu.”
“Nama saya Furqon Pak Ustad.”
“Baru kali ini saya melihat ada anak kecil yang shalat,” ujar Pak Ustad.
“Sebelumnya, tidak ada, Ustad?” Tanya Furqon. Pak Ustad menggeleng.
“Saya pindahan dari kota, Ustad. Rumah saya ada di kampung sebelah …” belum selesai ucapan Furqon sudah dipotong Pak Ustad.
“Kampung sebelah? Berarti, kamu melewati jembatan itu?” Pak Ustad menunjuk jembatan tali itu. Furqon mengangguk.
“Allahu Akbar, Subhanallah, Ya Allah. Kamu melewati jembatan itu untuk sholat di mushola? Kebanyakan, orang di kampung sebelah sholat di rumah. Mereka takut melewati jembatan tali. Tapi, lebih banyak lagi sibuk dengan urusan duniawi. Ya Allah, sungguh luar biasa anugerah yang engkau berikan kepada anak ini,” Pak Ustad mengelus kepala Furqon.
“Nama Pak Ustad siapa? Pak Ustad bisa membantu saya untuk hafalan Al-Qur’an?” Tanya Furqon. Matanya menatap wajah Pak Ustad.
“Saya Ustad Ali. Hafalan Al-Qur’an? Ya Allah, sungguh besar anugerah-Mu yang engkau berikan pada Furqon. Kamu anak yang istimewa dan hebat Furqon,” puji Ustad Ali.
“Baik, Furqon. Kamu sudah hafal sampai juz berapa?” Tanya Ustad Ali.
“Juz 29 Ustad. Maukah Pak Ustad mendengar hafalanku? Aku ingin mengkhatamkan hafalan Al-Qur’anku,” pinta Furqon. Ustad Ali mengangguk dengan penuh semangat.
“Pak Ustad ingin mendengar lantunan merdu ayat suci dari anak istimewa,” Ustad Ali tersenyum. Furqon tersenyum malu. Furqon memang cenderung pendiam.
Furqon memulai lantunan ayat suci dengan suara merdu nan indah. Sangat menyejukkan hati. Sebelumnya, Furqon pulang sebentar untuk mandi Pak Dasrul tidak ada di rumah. Kemudian, Furqon kembali lagi. Menunaikan shalat ashar dan melanjutkan hafalannya.
“Hafalanmu benar semua, Furqon. Seandainya, kamu anak saya. Anak seperti kamu, langka, Furqon,” ujar Ustad Ali saat Furqon menyalami tangannya.
“Terima kasih, Pak Ustad. Pak Ustad bersedia, kan, mendengar hafalanku setiap habis Ashar?” Furqon penuh harap. Ustad Ali tersenyum. Furqon tampak sennag dan puas.
Jam di mushola menunjukkan pukul 5 sore. Furqon berlari. Furqon berjalan dengan langkah cepat di jembatan tali. Walaupun diiringi rasa takut, jantung berdebar, dan keringat dingin. Furqon langsung berlari ke rumahnya.
“Furqon! Kamu ini ke mana saja? Pamit nggak. Pulang-pulang jam 5. Kamu ngerti waktu nggak?” Omel Pak Dasrul. Furqon menunduk.
“Maaf yah, tadi ayah nggak ada di rumah. Tadi, aku sholat Ashar di mushola kampung sebelah. Habis itu, aku hafalan Al-Qur’an sama Ustad Ali,” ungkap Furqon.
“Sudah, nggak usah yang macam-macam. Seharusnya, kamu bantu ayah cari uang. Kamu itu!” Pak Dasrul terbatuk-batuk. Furqon menunduk sedih.
“Aku harus bisa menjadi hafidz Qur’an,” Furqon bertekad dalam hati
Jalanan di kampung gelap gulita. Furqon melaksanakan shalat Isya di kamarnya. Setelah itu, Furqon meraih Al-Qur’an kesayangannya. Furqon mau ngapain? Yup! Furqon mau melanjutkan hafalannya.
Fuqon melanjutkan hafalannya. Suaranya yang indah nan merdu menyejukkan hati dan telinga siapapun yang mendengarnya. Furqon terus mengulang-ulang ayat per ayat hingga hafal.
“’Amma yatasaa’aluun. ‘Anin nabail‘azhiim. Alladzii hum fiihi mukhtalifuun.”
Pintu kamar Furqon dibuka Pak Dasrul.
“Furqon! Cuci baju!” Perintah Pak Dasrul. Setelah itu, Pak Dasrul berlalu pergi.
“Shadaqaullahul ‘aziim,” Furqon menutup Al-Qur’an kesayangannya. Kemudian, menciumnya dan meletakkan di meja.
“Ya Allah, semoga aku bisa menjadi anak yang berbakti dan hafidz Qur’an,” gumam Furqon bertekad dalam hati. Furqon mengambil segelas air putih dan membawa ke kamar ayahnya.
“Yah, minum dulu,” Furqon menyodorkan gelas berisi air putih.
“Ya sudah, sana cucian. Uhuk … uhuk …” Pak Dasrul mmengambil air munum itu dari tangan Furqon.
“Nggak beli obat aja, yah?” Tanya Furqon.
Pak Dasrul menggeleng pelan. “Nggak usah. Kita masih perlu banyak uang untuk makan. Makanya, kamu juga bantu cari uang,” jawab Pak Dasrul. Furqon menuruti.
Sepulang sekolah, Furqon langsung menunaikan sholat dzuhur berjamaah. Tadi, hampir saja ia terpeleset di jembatan tali itu. Alhamdulillah, Allah masih melindunginya yang kedua kali. Waktu kecil dulu, Furqon pernah hampir ditabrak mobil.
Selepas sholat dzuhur, Furqon berkata pada Ustad Ali, bahwa ia akan menyetor hafalan habis shalat ashar nanti. Furqon harus bekerja. Ia menjadi pemulung sampah.
“Hei, kamu anak baru, ya?” Tegur seorang anak berkulit hitam. Furqon mengangguk.
“Iya. Aku baru kerja di sini,” jawab Furqon seraya tersenyum.
“Kita lomba, yuk. Siapa yang dapat paling banyak!” Tantang anak itu.
“Boleh, deh. Tapi, kalau yang dapat paling banyak memangnya kenapa?” Tanya Furqon.
“Uang yang kalah, kasihkan sama yang menang,” jawab anak itu.
“Astagfirullahal’adzim. Nggak mau ikut aku. Sama saja itu dengan judi. Haram!” Seru Furqon. Kemudian, ia sibuk mengais-ngais sampah.
“Huh! Dasar, sok-sok pintar,” maki anak itu. Furqon tak menghiraukannya.
Setelah itu, mereka beruda melanjutkan pekerjaan. Mengais-ngais sampah dan memasukkannya ke dalam karung. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut mereka berdua.
Ketika suasana menunjukkan hampir ashar, Furqon pulang ke rumah dan mandi. Pak Dasrul tidak ada.
“Ayah, nggak ada. Padahal, aku mau pamit,” gumam Furqon. Ia berlari meninggalkan rumah dan melangkahkan kaki pelan-pelan dan hati-hati melewati jembatan tali.
Selepas shalat ashar…
“Gimana, Furqon? An-Naba sudah hafal?” Tanya Ustad Ali.
“Alhamdulillah, sudah, Ustad. Furqon sudah hafal sampai surah ‘Abasa,” jawab Furqon. Ia tersenyum manis.
“Subhannallah Furqon. Hafalanmu cepat sekali. Allah benar-benar meridhaimu,” balas Ustad Furqon. Furqon menari nafas dalam-dalam, ia membaca basmalah dan memulai hafalannya.
Furqon pulang ke rumah dengan perasaan senang. Hafalannya benar-benar bagus, begitu kata Ustad Ali.
“Furqon!” Gertak Pak Dasrul di depan rumah.
“Assalamu’alaikum, yah. Ada apa?”
“Nggak usah pakai salam-salam segala. Mana uangmu?” Pak Dasrul terlihat seperti orang stress.
“Ini pak,” Furqon menyodorkan hasil ia memulung.
“Kok cuma segini? Harusnya, bisa lebih banyak dari segini. Kamu sampai jam berapa sih?” Tanya Pak Dasrul.
“Sampai habis shalat ashar.”
“Kenapa enggak sampai jam segini aja? Kamu bisa dapat lebih banyak,” protes Pak Dasrul.
“Maaf yah. Tadi, Furqon shalat ashar. Terus, setor hafalan Qur’an.”
“Qon, yang gitu-gitu sudahlah. Yang penting kita banyak uang dulu. Fokus dulu nyari uang. Baru kamu mau hafalan kah, apa kah. Apa untungnya sih?” Pak Dasrul masuk ke dalam rumah. Furqon tertunduk.
Sepulang sekolah, Furqon mendapati Pak Dasrul yang terbaring lemah. Biasanya, beliau jam segini kerja. Pak Dasrul tampak kesakitan.
“Ayah, ayah kenapa?” Tanya Furqon panik. Seketika itu, Pak Dasrul terbatuk-batuk. Batuk yang nyaring dan seperti bukan batuk biasa. Di telapak tangan Pak Dasrul, terdapat cairan merah kental.
“Astagfirullah, ayah!” Furqon semakin panik.
Furqon berlari menuju mushhola. Ia berlari di jembatan tali. Didapatinya, Ustad Ali yang tengah berdzikir.
“Ustad, tolong ayah saya ustad,” pinta Furqon dengan wajah memelas.
“Ayahmu kenapa?” Ustad Furqon panik melihat ekspresi wajah Furqon.
Furqon menceritakan semuanya. Ustad Ali langsung meminta tolong kepada tetangganya yang punya truk untuk membawa Pak Dasrul ke rumah sakit. Dengan susah payah, Furqon memapah ayahnya melewati jembatan tali dan membantu naik ke dalam truk.
Truk melaju menuju kota. Setelah itu, Pak Dasrul langsung dibawa ke rumah sakit umum. Semuanya bingung, karena tidak ada yang mampu membiayai.
“Tenang, soal biaya, saya Insya Allah bisa bantu,” ujar Ustad Ali. Setelah diperiksa, Pak Dasrul mengalami kanker ginjal yang sedang dalam masa penjalaran kanker dan harus dicegah secepatnya dengan cara operasi.
Untuk operasi itu, membutuhkan biaya puluhan juta. Furqon hanya bisa menangis. Ia hanya bisa melantunkan ayat Al-Qur’an di depan ayahnya yang tertidur. Airmata pun turut menetes.
Pak dokter memeriksa lagi tubuh Pak Dasrul.
“Kondisi Pak Dasrul semakin parah. Ini tak bisa dibiarkan. Harus secepatnya,” jelas Pak dokter.
Sebenarnya, Pak Dasrul harus dipindah ke ruang ICU agar mendapat perawatan lebih intensif. Tetapi, sayangnya, biaya tidak memadai.
Furqon melanunkan ayat-ayat suci. Ia, berharap, bisa mengurangi rasa sakit ayahnya.
Siangnya, Pak Dasrul tidak sadarkan diri.
“Ayah, ayah bangun ayah,” Furqon mengguncang-guncang tubuh Pak Dasrul. Airmata Furqon mengalir.
Pukul 15.15 menit, Ustad Ali datang. Beliau dan Furqon menunaikan shalat ashar bersama-sama.
Setelah itu, di depan tempat tidur Pak Dasrul, Furqon mengulangg hafalannya dari surat Al-Fatihah sampai An-Nas.
“Subhanallah … Furqon, hafalanmu benar semua. Tidak ada yang salah,” puji Ustad Ali seraya mengelus rambut Furqon. Furqon masih membaca surat Al-Fath.
Mulut Furqon pegal sekali. Karena, menghafal ayat Al-Qur’an nonstop. Furqon meminum air putih 1 gelas.
Lantunan ayat suci Al-Qur’an dari Furqon indah sekali. Suara merdunya, makhraj huruf, tajwid, dan tilawahnya. Subhanallah.
“Furqon, suaramu sangat mirip dengan salah satu imam besar Masjidil Haram,” puji Ustad Ali. Furqon tengah meminum air putih karena mulutnya pegal dan haus. Ia baru hafalan sampai surah Yasin.
“Benar, Ustad?” Sahut Furqon.
“Bohong kan dosa. Ngapain Ustad bohong? Semoga, kamu menjadi penerus imam besar Masjidil Haram itu,” do’a Ustad Ali.
“Aamiin.”
Furqon kemudian melanjutkan hafalannya lagi.
“Shadaqallahul’aziim,” Furqon mengakhiri hafalannya. Butuh waktu 3 jam untuk hafalan dari awal sampai akhir.
Mata Furqon mengeluarkan airmata dan mengenai kelopak mata Pak Dasrul. Ustad Ali meneteskan airmata mendengar hafalan Furqon.
Dan pada saat itu juga, Pak Dasrul sadar. Beliau membuka matanya perlahan-lahan.
“Furqon!” Kata Pak Dasrul pelan. Furqon mengambilkan air putih untuk diminum ayahnya.
Dokter membuka pintu kamar. Tanpa bertanya-tanya lagi, beliau langsung memeriksa keadaan Pak Dasrul dengan sebuah alat khusus.
“Pak, tidak ada rasa sakit lagi?” Tanya pak dokter. Pak Dasrul mengggeleng.
“Sama sekali?” Pak Dokter seakan tidak percaya.
“Tidak ada sedikitpun pak dokter,” jawab Pak Dasrul.
“Kalau begitu, kami menyatakan bahwa Pak Dasrul telah sembuh. Karena dari hasil pemeriksaan alat ini, kanker Pak Dasrul tidak ada lagi,” ujar pak dokter seraya menunjukkan alatnya yang canggih. Furqon, Ustad Ali, dan Pak Dasrul terlonjak kaget. Furqon langsung sujud syukur.
“Alhamdulillah…”
Furqon langsung memeluk erat ayahnya. Ayah dan anak itu mengeluarkan airmata karena haru.
Ustad Ali memeluk Furqon, “Alhamdulillah ya, Furqon.”
“Ini semua karena mukjizat Allah, pak. Apa yang kalian lakukan sehingga membuat Pak Dasrul sembuh dari kanker?”
“Mengulang hafalan Al-Qur’an dari awal sampai akhir,” jawab Furon. Pak dokter menggelengkan kepala.
“Subhanallah, Allah Maha Baik. Mukjizatnya akan diberikan kepada siapapun yang mau berdoa dan berusaha dengan sungguh-sungguh. Terlebih, kepada anak istimewa dan hebat seperti kamu Furqon,” puji pak dokter. Furqon menunduk malu.
Pak Dasrul tersenyum mendengar percakapan mereka.
“Mukjizat ayat Al-Qur’an,” batin Furqon.
Kabar kesembuhan Pak Dasrul karena ayat Al-Qur’an menjadi perbincangan hangat di Kampung Lebat Pohon. Para warga mulai tertarik. Sedikit-sedikit, mulai ada yang belajar mengaji.
Mushola yang dulunya sepi, sekarang mulai ramai. Warga yang dulunya sibuk dengan urusan duniawi mulai tekun beribadah.
“Kamu hebat, Furqon. Anak ayah yang istimewa,” puji Pak Dasrul.
“Furqon nggak istimewa, yah. Furqon biasa saja,” jawab Furqon merendah seraya menunduk.
“Itu semua karena mukjizat ayat Al-Qur’an.”



Komentar

Postingan populer dari blog ini

KRUPUK KHAS SIDOARJO

Sidoarjo adalah kota yang berada diujung timur pulau jawa, kebanyakan orang menyebut Sidoarjo sebagai kota delta yang terkenal dengan penghasil ikan dan udangnya sehingga dijadikan logo kota Sidoarjo sendiri. Dengan melimpahnya hasil ikan dan udang, masyarakat sekitar Sidoarjo memanfaatkannya dengan mengolah ikan dan udang sebagai  makanan khas Sidoarjo . Salah satu olahan  dari ikan dan udang adalah kerupuk ikan, kerupuk udang, kerupuk kerang, bandeng presto, dan banyak lagi. Ikan sendiri mengandung banyak protein didalamnya dan itu sangat baik untuk pertumbuhan anak serta membantu kinerja otak, meningkatkan kecerdasan dll. jadi  ikan adalah makanan yang bermanfaat bagi tubuh  dan olahan-olahan dari ikan ini mampu menambah nafsu makan. bagi yang tidak suka makan ikan secara langsung bisa makan kerupuk ikan ini karena kandungan ikan pada kerupuk tidak akan berkurang meskipun tercampur dengan bahan yang lain. Jikalau anda berlibur ke jawa timur khususnya kota delta in

Koboi kehilangan kuda [humor]

Koboi Kehilangan Kuda Seorang koboi pergi ke bar naik kudanya. Setelah mengikat kudanya, ia masuk ke dalam, pesan minuman, lalu bergegas pergi. Ternyata kudanya hilang! Dia masuk kembali ke bar sambil berteriak, “Siapa yg mencuri kuda saya?” Tak seorang pun menjawab. Si koboi berkata lagi, “OK. Saya tunggu 10 menit. Jika dalam waktu itu tidak ada yang mengaku, terpaksa saya akan melakukan apa yang telah saya lakukan di Texas. Dan terus terang aku tidak suka melakukan lagi hal itu.” Satu per satu pengunjung berlari terbirit2 keluar. Sampai tak ada seorangpun berada di dalam Bar, kecuali si Bartender. Saat si Koboi melongok keluar, ternyata kudanya telah kembali berada di tempatnya semula. Dengan gemetar ketakutan bercampur senang karena kuda si Koboi telah kembali, bartender bertanya, “Apa yang telah kamu lakukan di Texas?” Koboi itu menjawab, “Saya terpaksa berjalan kaki pulang.” ******